Energi Hijau yang Menggoda: Biodiesel Sawit Tunjukkan Kekuatan Aslinya
JAKARTA, SAWITSUMATERA.ID- Di tengah kritik bahwa industri sawit dianggap kontradiktif dengan isu penurunan emisi, biodi...
JAKARTA, SAWITSUMATERA.ID- Pemerintah kembali menegaskan bahwa proses alokasi lahan untuk perkebunan, termasuk perkebunan kelapa sawit, harus mengikuti aturan hukum yang berlaku dan hanya kawasan yang boleh dikonversi (convertible forest) yang dapat digunakan. Kawasan hutan yang berstatus lindung maupun konservasi dilarang dialihkan menjadi lahan non-hutan untuk kegiatan perkebunan.
Menurut Undang‑Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan dibagi menjadi beberapa jenis yang masing-masing mempunyai fungsi berbeda, antara lain hutan produks i, hutan lindung, dan hutan konservasi. Hanya hutan produksi khususnya kawasan yang ditetapkan sebagai “kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi” yang dibolehkan untuk dialihfungsikan menjadi lahan budidaya, termasuk perkebunan sawit.
BACA JUGA:BPDP Raih Penghargaan Mitra Wirausaha Mahasiswa Berbasis UKM Sawit
Lebih lanjut, proses alih fungsi tersebut melalui beberapa tahapan regulasi dan wewenang. Pemerintah pusat, melalui menteri terkait, memiliki kewenangan untuk menetapkan dan mengeluarkan SK Pelepasan Kawasan Hutan Produksi untuk Konversi, kemudian izin lokasi perkebunan, izin usaha perkebunan (IUP), dan setelah itu hak guna usaha (HGU) untuk lahan perkebunan sawit. Dengan prosedur berjenjang ini, pelaku usaha tidak dapat begitu saja ‘menyerobot’ lahan hutan secara bebas prosedur legislasi sengaja dibuat untuk menjaga agar penggunaan lahan tidak dilakukan secara sembarangan.
BACA JUGA:GAPKI Dukung Petani Sawit Kapuas Hulu Lewat Kolaborasi JAGA SAWITAN dan ISAKU
Sementara itu, dalam sektor perkebunan sawit sendiri, regulasi perizinan sudah cukup matang. Sebagai contoh, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan – mengubah regulasi sebelumnya, sebagai dasar pelaksanaan usah a perkebunan secara legal.
Kapan Pelanggaran Terjadi?
Meski regulasi cukup jelas, pada kenyataannya terdapat kasus dimana lahan perkebunan sawit berada dalam kawasan hutan tanpa melalui prosedur yang sah. Hal ini bisa terjadi ketika:
Lahan berada di dalam kawasan hutan produksi, lindung atau konservasi yang belum dilepaskan secara resmi, tetapi telah dimanfaatkan untuk perkebunan sawit.Prosedur mulai dari SK Pelepasan Kawasan → Izin Lokasi → IUP → HGU tidak dilalui secara lengkap atau sesuai urutan.Konflik tata ruang atau peta kawasan hutan yang belum sinkron dengan izin usaha membuat status lahan menjadi ambigu.Misalnya, dalam pemberitaan disebut bahwa kawasan perkebunan sawit dalam kawasan hutan diperkirakan mencapai jutaan hektar.
BACA JUGA:TBS Kelapa Sawit Jambi Turun Lagi, Ini Daftar Harga TBS 31 Oktober-6 November 2025
Tindak Lanjut dan Sanksi
Pemerintah telah mengatur mekanisme penyelesaian untuk lahan perkebunan sawit yang sudah terbangun dalam kawasan hutan. Dengan hadirnya Undang‑Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan regulasi terkait, dua skema utama diatur: pasal 110A dan 110B.
Pasal 110A: untuk kegiatan yang sudah memiliki izin lokasi atau IUP perkebunan sebelum UU berlaku dan sesuai tata ruang, namun ternyata berada di kawasan hutan. Pelaku memperoleh kesempatan untuk menyelesaikan persyaratan, bukan langsung diseret ke ranah pidanaPasal 110B: untuk kegiatan yang berada di kawasan hutan namun tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan. Penyelesaian dilakukan melalui sanksi administratif (penghentian sementara usaha, pembayaran denda administratif, atau pencabutan izin). Pemerintah menetapkan tanggal 2 November 2023 sebagai batas akhir penyelesaian perizinan untuk perkebunan sawit dalam kawasan hutan.
Catatan Penting & Tantangan
BACA JUGA:IPOC 2025, GAPKI Dorong Tata Kelola dan Daya Saing Industri Sawit berkelanjutan
Meskipun regulasi telah ada, sinkronisasi data kawasan hutan, peta tata ruang, izin usaha dan lahan lapangan masih menjadi tantangan besar.Resiko munculnya konflik lahan antara masyarakat setempat, pelaku usaha, dan negara tetap tinggi.Beberapa kalangan menilai bahwa mekanisme “legalisasi” lahan yang sebelumnya bermasalah dapat menjadi pintu bagi praktik alih fungsi yang kurang transparanPengawasan dan penegakan masih sangat dibutuhkan agar regulasi tidak hanya tertulis tetapi benar-benar dijalankan.Secara garis besar, sistem hukum Indonesia telah menetapkan bahwa hanya kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi lahan non-hutan untuk kegiatan seperti perkebunan sawit dan prosesnya harus melalui serangkaian izin yang melibatkan lintas lembaga. Jika ditemukan pelanggaran prosedur tersebut, maka pelaku usaha berada dalam posisi melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi administratif bahkan pembatalan izin.
JAKARTA, SAWITSUMATERA.ID- Di tengah kritik bahwa industri sawit dianggap kontradiktif dengan isu penurunan emisi, biodi...
JAKARTA, SAWITSUMATERA.ID- Pemerintah kembali menegaskan bahwa proses alokasi lahan untuk perkebunan, termasuk perkebuna...
JAKARTA, SAWITSUMATERA.ID- Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) mendapatkan penghargaan sebagai Mitra Strategis dalam ...
SAWITSUMATERA.ID- Kelapa sawit sering menjadi perdebatan, tetapi jika melihat data dan fakta ilmiah, minyak sawit memili...
MEDAN, SAWITSUMATERA.ID – Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) terus memperkuat komitmennya dalam mencetak ...
JAKARTA, SAWITSUMATERA.ID- Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) menyelenggarakan kegiatan Fun and Play Bersama Sahabat...
JAKARTA, SAWITSUMATERA.ID- Industri minyak sawit memiliki peran dan kontribusi strategis dalam mengatasi masalah kemiski...
MEDAN, SAWITSUMATERA.ID- Palm Oil Career Expo (POCE) 2025 berlangsung pada 15–16 Oktober 2025 di Tiara Convention ...
JAKARTA, SAWITSUMATERA.ID- Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan industri kel...
BOGOR, SAWITSUMATERA.ID- Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) dan Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bogor menyeleng...

